Memahami Tiga Paradigma Asesmen
Secara sederhana, perbedaannya terletak pada tujuan, waktu, dan aktor yang terlibat dalam penilaian.
Assessment OF Learning (Asesmen Sumatif)
Ini adalah paradigma asesmen yang paling tradisional dan umum dikenal.
Konsep: Penilaian yang dilakukan setelah proses pembelajaran selesai. Tujuannya adalah untuk mengukur, menilai, dan melaporkan tingkat pencapaian belajar siswa terhadap standar atau tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuan Utama:
> Menentukan nilai atau kelulusan.
> Memberikan laporan kepada orang tua, sekolah, dan pihak lain.
> Akuntabilitas dan sertifikasi.
Waktu Pelaksanaan: Di akhir unit pembelajaran, semester, atau tahun ajaran.
Aktor Utama: Expert, Mitra Industri, Asesor menilai siswa.
Contoh: Uji Kompetensi Keahlian (UKK), Uji Sertifikasi Profesi, Uji Tingkat Kompetensi (UTK)
Assessment FOR Learning (Asesmen Formatif)
Paradigma ini berfokus pada penggunaan penilaian sebagai alat untuk meningkatkan pembelajaran.
Konsep: Penilaian yang dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung secara berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa, kesulitan yang dihadapi, dan kekuatan yang dimiliki.
Tujuan Utama:
> Memberikan umpan balik (feedback) yang konstruktif kepada siswa.
> Membantu guru menyesuaikan strategi mengajarnya agar lebih efektif.
> Memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar.
Waktu Pelaksanaan: Terintegrasi dalam kegiatan belajar sehari-hari.
Aktor Utama: Guru mengumpulkan informasi untuk membantu siswa belajar lebih baik.
Contoh: Penilaian guru (Expert-Assessment)
Assessment AS Learning (Asesmen sebagai Pembelajaran)
Ini adalah paradigma yang paling memberdayakan siswa dalam proses belajar mereka.
Konsep: Proses di mana siswa secara aktif memonitor dan merefleksikan proses belajar mereka sendiri. Ini melibatkan pengembangan keterampilan metakognisi (berpikir tentang cara berpikir).
Tujuan Utama:
> Menjadikan siswa sebagai penilai bagi dirinya sendiri (self-assessment) dan temannya (peer assessment).
> Membantu siswa memahami tujuan pembelajaran dan kriteria keberhasilan.
> Membangun kemandirian, tanggung jawab, dan kesadaran diri sebagai pembelajar.
Waktu Pelaksanaan: Berlangsung terus-menerus selama proses pembelajaran.
Aktor Utama: Siswa menjadi aktor utama yang meregulasi pembelajarannya sendiri.
Contoh: Penilaian siswa (Self-Assessment), Penilaian teman (Peer-Assessment)
Piramida Asesmen
Hubungan ketiga paradigma ini sering digambarkan dalam bentuk piramida untuk menunjukkan frekuensi dan penekanannya dalam proses pembelajaran yang ideal.
Dasar Piramida (Paling Luas): Assessment FOR dan AS Learning
Ini menunjukkan bahwa penilaian formatif (oleh guru) dan penilaian sebagai pembelajaran (oleh siswa) harus menjadi fondasi utama. Kegiatan ini harus dilakukan paling sering dan menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas belajar harian.
Puncak Piramida (Paling Sempit): Assessment OF Learning
Ini menunjukkan bahwa penilaian sumatif tetap penting, tetapi frekuensinya lebih jarang. Ia berfungsi sebagai puncak dari serangkaian proses pembelajaran yang telah didukung oleh asesmen for dan as learning.
Piramida ini mengilustrasikan bahwa pembelajaran yang kuat dibangun di atas fondasi umpan balik dan refleksi yang berkelanjutan, bukan hanya pada tes-tes akhir yang sifatnya menghakimi.
Dasar Rujukan dan Alasan Kemunculan Paradigma
Paradigma ini muncul sebagai respons terhadap keterbatasan model pendidikan yang terlalu fokus pada assessment of learning.
Dasar Rujukan: Gerakan ini dipelopori oleh para peneliti pendidikan, terutama dari Assessment Reform Group (ARG) di Inggris pada akhir 1990-an dan awal 2000-an. Tokoh-tokoh kunci seperti Paul Black dan Dylan Wiliam melalui publikasi mereka, seperti "Inside the Black Box: Raising Standards Through Classroom Assessment", menyajikan bukti kuat bahwa praktik assessment for learning secara signifikan meningkatkan prestasi siswa.
Alasan Kemunculan:
Pergeseran Teori Belajar: Adanya pergeseran dari teori behaviorisme (yang melihat belajar sebagai transfer pengetahuan pasif) ke teori konstruktivisme. Dalam konstruktivisme, siswa dipandang sebagai pembangun aktif pengetahuan, sehingga mereka perlu dilibatkan dalam proses penilaian untuk memahami dan mengarahkan pembelajaran mereka sendiri.
Keterbatasan Asesmen Sumatif: Ketergantungan berlebihan pada asesmen sumatif (seperti ujian) cenderung menciptakan "budaya tes" (testing culture) yang hanya fokus pada hasil akhir dan peringkat, bukan pada proses pemahaman dan penguasaan materi secara mendalam.
Kebutuhan Umpan Balik: Penelitian menunjukkan bahwa umpan balik yang tepat waktu dan spesifik adalah salah satu faktor paling kuat dalam meningkatkan pembelajaran. Assessment for learning menempatkan umpan balik sebagai inti dari prosesnya.
Tuntutan Keterampilan Abad 21: Dunia modern menuntut individu yang dapat belajar secara mandiri, berpikir kritis, dan meregulasi diri (lifelong learners). Assessment as learning secara langsung melatih keterampilan metakognitif dan kemandirian yang sangat penting ini.
Singkatnya, kemunculan paradigma for dan as learning adalah sebuah evolusi untuk menjadikan asesmen bukan lagi sekadar alat untuk menghakimi, melainkan sebagai mesin pendorong proses pembelajaran itu sendiri.